Nusantara pada kementrian kolonial

A. Kedatangan Bangsa Barat di Indonesia

Kedatangan bangsa Eropa ke Asia, khususnya Indonesia sangat berkaitan dengan imperialisme dan kolonialisme. Imperialisme berasal dari bahasa Latin imperare, yang artinya memerintah. Imperialisme adalah hak untuk memerintah. Bangsa yang menjalankan imperialisme (imperialis) berhak untuk melakukan perintah. Adapun kolonialisme berasal dari kata coloni, yang artinya tanah permukiman atau tanah jajahan. Kolonialisme adalah penguasaan suatu wilayah dan rakyatnya oleh negara lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat militer atau ekonomi.

1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kedatangan Bangsa Eropa ke Asia

a. Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pengembaraan bangsa Eropa ke Asia mulai dirintis oleh Marcopolo, dari Venesia, Italia. Ia berhasil mema suki Benua Asia di Turkistan dan ke Cina sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Ia kembali lagi ke Eropa melalui India dan Teluk Parsi (1271–1295). Kisah perjalanannya ditulis dalam buku berjudul Imago Mundi (Citra Dunia) dan Il Milline (Sejuta Keajaiban). Kisah dalam buku tersebut mendorong para pelaut Eropa untuk mengarungi samudra dan menjelajahi lautan. Ditambah pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan geografi dan ilmu perbintangan (astronomi), penemuan kompas, mesiu, dan teknik pelayaran.

Gambar 01 : Marcopolo dari Venesia

b.Ekonomi

Sebelum ditemukannya daerah pusat rempah-rempah, bangsa Eropa hanya memperoleh rempah-rempah dari Asia Barat. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh bangsa Eropa dengan membeli barang dagangan dari pelabuhan Asia Barat tidak banyak. Apalagi saat itu para pedagang Asia Barat menjual barang dagangannya dengan harga yang mahal. Oleh karena itu, orang-orang Eropa berkeinginan mencari barang dagangan langsung dari pusatnya. Mereka berharap akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda.

c.Politik

Peristiwa jatuhnya Konstantinopel ke tangan penguasa Turki Usmania pada 1453 berdampak besar terhadap perdagangan dunia saat itu. Hal ini mendorong bangsa Eropa untuk melakukan ekspansi ke luar Iberia karena mereka tidak mau berdagang di wilayah per dagangan Asia Barat. Akibatnya, perdagangan antara dunia Timur dan Barat terputus. Perkembangan berikutnya, bangsa Eropa mencari arah lain untuk menuju ke dunia Timur. Keadaan ini menimbulkan gerakan pelayaran dan penjelajahan samudra secara besar-besaran.

d. Semangat Gold, Glory, dan Gospel

Tujuan lain penjelajahan ke dunia Timur, dilatarbelakangi oleh idealisme gold (emas), glory (kejayaan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani). Gold adalah mencari kekayaan. Selain emas, rempah-rempah merupakan barang dagangan yang sangat menguntungkan saat itu. Selain bermotifkan gold, para penjelajah Eropa mengharapkan glory atau kejayaan dengan mendapatkan dan menguasai daerah rempah rempah. Adapun tujuan lainnya adalah menyebarkan agama Nasrani (gospel). Salah seorang tokoh penyebar agama Nasrani di Indonesia bagian Timur ialah Franciscus Xaverius.

Gambar 02 : Franciscus Xaverius


B. Sistem Pemerintahan Kolonial di Indonesia

1. Pemerintahan Portugis di Indonesia

Perjalanan orang Portugis ke Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran Vasco da Gama yang menemukan jalur pelayaran ke India. Tahun 1510, Alfonso de Albuquerque (1459–1515) sebagai Panglima Angkatan Laut Portugis berhasil menguasai Goa yang kemudian menjadikannya pangkalan tetap Portugis. Ketika mendengar mengenai kekayaan Malaka dari pedagang pedagang Asia, raja Portugis mengutus Di ego Lopez Siqueria untuk menemukan Malaka dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya. Pada 1509, Portugis tiba di Malaka di bawah pimpinan Siqueria. Portugis melakukan kontak dengan penguasa setempat, yaitu Sultan Mahmud Syah. Semula sultan menolak, tetapi Portugis memaksa melalui peperangan.
Setelah Malaka dapat dikuasai, Portugis menancapkan pengaruhnya di Pasai dan Minangkabau. Penguasa Pasai mengizinkan Portugis mendirikan benteng di tepi Sungai Pasai karena telah membantunya merebut kekuasaan pada 1514. Demikian pula Raja Pagaruyung dari Minangkabau mendapat bantuan Portugis untuk melawan Sultan Mahmud Syah yang pernah berkuasa di Malaka.
Pada 1512 Portugis tiba di Ternate dan melakukan hubungan dagang dengan para penguasa Ternate. Portugis mendirikan benteng di Ternate yang dimanfaatkannya untuk melakukan monopoli perdagangan cengkih. Di daerah Jawa pengaruh Portugis tidak begitu besar karena terhalang Kesultanan Demak. Adapun usaha untuk menguasai wilayah Sunda Kelapa yang diduduki Kerajaan Pajajaran gagal. Sementara itu di wilayah Sumatra, Portugis tidak mampu menghadapi kekuatan Kesultanan Aceh. Penjelajahan Portugis di Nusantara berakhir pada akhir abad ke-16 M. Kecual di Timor Timur sampai 1674 setelah Belanda mulai ikut bersaing menguasai Nusantara.

2. Pemerintahan Belanda di Indonesia

a. Kedatangan Belanda

Pada awalnya, Belanda memperoleh rempah-rempah dari Lisabon, Portugis. Namun, pertempuran antara Portugis dan Spanyol pada 1580, menyebabkan tersendatnya pasokan rempah-rempah ke Belanda. Raja Spanyol Phillip II, sebagai pemenang perang, menutup pelabuhan Lisabon bagi kapal-kapal Belanda. Pada 1596, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran perintis Belanda ke Nusantara. Armada Belanda dari Amsterdam menuju Pantai Gading di Afrika Barat, ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kemudian mereka langsung menuju Selat Sunda. Empat armada kapal de Houtman berlabuh di Banten pada 1596, Namun, ekspedisi pertama ini gagal. Pada 1598, rombongan pedagang Belanda tiba di Banten di bawah pimpinan Yacob van Neck. Kali ini kedatangan mereka diterima dengan baik oleh penguasa Banten. Saat itu, Banten sedang mengalami kemunduran akibat tindakan orang-orang Portugis. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melakukan hubungan perdagangan.

Gambar 03 : Cornelis de Houtman

Atas saran dari Yohan van Oldebarnevelt, bangsa Belanda mendirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie(VOC) pada 1602. Tujuan didirikannya VOC, yaitu mempersatukan usaha dagang mereka di Indonesia, menghindari persaingan antar pedagang Belanda, dan mengatasi persaingan di antara pedagang Eropa lainnya. Pimpinan VOC di Belanda dipegang oleh Dewan 17, sedangkan di Indonesia dipegang oleh seorang gubernur jenderal. Gubernur jenderal pertama VOC ialah Pieter Both yang mulai memerintah pada 1609 dengan pusatnya di Ambon.

Gambar 04 : Lambang VOC

Perserikatan ini mendapat hak-hak istimewa (hak octrooi) dari pemerintah Belanda. Hak octrooi itu, di antaranya:

1. Memonopoli perdagangan di wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika;
2. Mempunyai angkatan perang, mendirikan bentengbenteng, dan menjajah;
3. Mengangkat pegawai;
4. Mempunyai pengadilan sendiri;
5. Mencetak dan mengedarkan uang;
6. Membuat perjanjian dengan penguasa-penguasa setempat atas nama pemerintah Belanda.

Pada 1618, terjadi pergantian kepemimpinan VOC, Pieter Both digantikan oleh Jan Pieterzoon Coen. Siasat yang dijalankan VOC untuk menguasai barang dagangan, khususnya rempah-rempah, yaitu sebagai berikut.

1. Menjalankan sistem monopoli.
2. Menjalankan ekstirpasi, yaitu menghukum pelanggar peraturan monopoli di Maluku dengan membinasakan pohon rempah-rempah yang berlebih.
3. Menjalankan pelayaran hongi, yaitu pelayaran keliling dengan perahu kora-kora untuk mengawasi peraturan monopoli perdagangan dan penanaman cengkih di Maluku.

Gambar 05 : Jan Pieterzoon Coen kelak menyerang dan menduduki Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia.

Namun, siasat VOC tersebut tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Apalagi, Sultan Banten Ranamenggala tetap untuk mempertahankan perdagangan bebas dan tidak mau memberikan hak istimewa kepada siapa pun. Oleh karena itu, Coen memilih Jayakarta untuk dijadikan pangkalan VOC, karena letaknya di teluk yang tenang airnya, dikelilingi oleh beberapa pulau, dan tidak jauh dari Selat Sunda. Namun, beberapa tahun kemudian, Inggris dengan kongsi dagangnya yang bernama East Indian Company (EIC) meminta izin mendirikan loji di Jayakarta. Oleh karena itu, terjadi persaingan antara VOC dan EIC di Jayakarta.

Atas hasutan pihak Inggris, timbul perselisihan antara VOC dan bupati Jayakarta. Loji Belanda dikepung oleh tentara Jayakarta. Sementara di Teluk Jayakarta, armada Belanda bertempur dengan armada Inggris. Hal ini mengakibatkan pertahanan VOC melemah. Coen beserta pasukannya kemudian pergi ke Maluku untuk meminta bantuan. Coen kembali dari Maluku dengan membawa armada yang kuat. Ia menyerang tentara Banten dan Inggris, serta menyerbu dan menduduki Jayakarta.

Pada Mei 1619, secara resmi benteng VOC dinamakan Batavia dan VOC secara resmi berkuasa atas Batavia. Perdagangan yang awalnya dilakukan dengan pedagang-pedagang Inggris, Spanyol, dan Portugis lambat laun jatuh ke tangan Belanda. Bahkan, pelabuhan-pelabuhan penting bagi perdagangan ekspor telah dikuasai Belanda, seperti Banten, Jakarta, Ambon, Banda, dan Palembang. Perubahan tersebut menyebabkan perselisihan, terutama setelah VOC mendirikan benteng benteng (loji) pertahanan di pelabuhan-pelabuhan dagang, seperti Benteng Kota Intan (Fort Speelwijk) di Banten, Benteng Victoria di Ambon, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Nasao di Banda. Selain itu, VOC melakukan politik devide et impera (politik memecah belah) antara keluarga dalam satu kerajaan dan keluarga lainnya. Cara lain yang dilakukan Belanda, yaitu melancarkan monopoli perdagangan di Indonesia, khususnya di Kepulauan Maluku, setelah berhasil menguasai kerajaan Makassar, Ternate, dan Tidore.

b. Bubarnya VOC

Pada pertengahan abad ke-18, perdagangan dan pelayaran dipegang oleh VOC. Namun di pihak lain, kedudukan VOC mulai goyah, sampai akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799. Penyebabnya, yaitu sebagai berikut.
1. Persaingan dagang dengan Prancis dan Inggris.
2. Penduduk Indonesia terutama di Pulau Jawa, tidak mampu membeli barang-barang yang dijual oleh VOC.
3. Perdagangan gelap yang menerobos monopoli perdagangan VOC.
4. Pegawai-pegawai VOC melakukan korupsi.
5. VOC harus mengeluarkan dana besar untuk membiayai tentara dan pegawai untuk menguasai daerah-daerah yang baru di kuasai, terutama di Jawa dan Madura.

Dalam rentang waktu 1799–1807, di Indonesia terjadi masa peralihan. Indonesia dikuasai oleh Republik Bataf (Bataafsche Republiek). Dalam waktu yang bersamaan, Belanda terlibat perang melawan Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang ingin menyatukan Eropa dengan Prancis. Belanda sebagai salah satu negara Eropa yang mempunyai daerah jajahan, tidak luput dari sasaran Prancis.

Dalam sebuah pertempuran pada 1807, Belanda dikalahkan oleh  Prancis. Akibatnya,
Republik Bataf dihapuskan oleh Napoleon Bonaparte dan di gantikan dengan bentuk Kerajaan Belanda (Koninkrijk Holland) dengan rajanya Lodewijk Bonaparte (adik Napoleon Bonaparte). Sebagai wakilnya di Indonesia, Kerajaan Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal. Daendels ialah seorang Belanda yang mendukung Prancis dalam Perang Koalisi di Eropa.

c. Pemerintahan Daendels (1808–1811)

Herman William Daendels sebagai gubernur jendral di Indonesia atas nama Prancis, mempunyai tugas utama, yakni mempertahankan Indonesia agar tidak dikuasai oleh Inggris. Pada masa itu di Eropa, Inggris merupakan negara tandingan Prancis dalam memperluas wilayah jajahan. Daendels mengeluarkan kebijaksanaan yang berlaku bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai berikut.
1. Membuat angkatan perang, mendirikan tangsi dan benteng, pabrik mesiu, rumah sakit tentara, dan kapal perang kecil sebanyak 40 buah.
2. Membuat jalan antara Anyer sampai Panarukan.
3. Membuat Preanger Stelsel, yaitu satu sistem yang mengharuskan rakyat khususnya di daerah Priangan untuk menanam kopi.
4. Dikeluarkan aturan pajak yang tinggi.

Daendels memerintah dengan keras dan kejam, sehingga menimbulkan reaksi dari rakyat. Salah satunya, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Sumedang di bawah pimpinan Pangeran Kornel atau Pangeran Kusumahdinata (1791–1828), seorang Bupati Sumedang. Perlawanan itu terjadi karena rakyat dipaksa bekerja dengan perlengkapan sederhana untuk membuat jalan melalui bukit yang penuh batu cadas. Daerah tersebut, sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran.

Pemerintahan Daendels mengalami pertentangan dengan sultan Banten. Sultan Banten yang tidak mendukung Daendels ditangkap dan dibuang ke Ambon. Mangkubumi dari Solo yang juga dianggap menghalangi rencana Daendels dibunuh dan mayatnya dibuang ke laut. Pertentangan pun terjadi dengan Kesultanan Mataram. Dengan menggunakan politik devide et impera, Sultan Hamengku Buwono digantikan oleh Sultan Sepuh.

Wilayah kesultanan Mataram diperkecil berdasarkan Perjanjian Giyanti. Upaya Daendels untuk mengumpulkan uang dilakukan dengan menjual tanah-tanah partikelir kepada orang Belanda, Tionghoa, dan Arab. Prancis menyadari bahwa Inggris tidak mampu dikalahkan. Bahkan, Inggris berhasil menembus taktik Kontinental Stelsel (pertahanan darat) Prancis. Oleh karena itu, Napoleon Bonaparte memanggil Daendels untuk diikutsertakan dalam penyerbuan ke Rusia pada Perang Koalisi VI. Daendels kemudian diganti oleh Jenderal Janssens. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama. Janssens menyerah kepada Inggris pada 18 September 1811.

3. Pemerintahan Inggris di Indonesia (1811–1816)

Ketika Indonesia masih dalam kekuasaan pemerintah Belanda, seorang sarjana Inggris bernama Thomas Stamford Raffles telah banyak berhubungan dengan raja-raja di Jawa melalui surat.

Gambar 06 : Thomas Stamford Raffles

Dalam surat-suratnya, Raffles menganjurkan agar Indonesia bekerja sama dengan Inggris untuk melawan pemerintah Belanda. Raffles mempelajari bahasa Melayu dengan bantuan R. Saleh atau R. Ario Notodinigrat dan Pangeran Natakusuma II dari Sumenep. Kelak Raffles dan Natakusuma II bekerja sama menghasilkan buku berjudul The History of Java.
Sejak Belanda menyerah kepada Inggris pada 1811, gubernur jenderal Inggris di India, yaitu Lord Minto mengangkat Sir Thomas Stamford Raffles menjadi letnan gubernur di Jawa. Raffles menjalankan peme rintahannya berdasarkan teori liberalisme, dengan rencana sebagai berikut.
a.Kerja paksa dihapus, kecuali daerah Priangan dan Jawa Tengah.
b. Monopoli dan pelayaran hongi dihapuskan.
c. Contingenten (penyerahan hasil bumi dari daerah jajahan) diganti dengan Landrente Stelsel (sistem pajak bumi), sedangkan penyerahan wajib dihapuskan.
d. Melarang politik perbudakan.

Dalam bidang pemerintahan, Raffles menerapkan sistem baru, yaitu:

a. Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan;
b. Kekuasaan para bupati dikurangi;
c. Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan.

Adapun sistem Landrente Stelsel yang diterapkan Raffles adalah sebagai berikut.

a. Petani membayar sewa tanah sesuai keadaan tanah.
b. Pajak bumi dibayar dengan uang atau beras.
c. Orang-orang yang bukan petani dikenakan uang kepala, yaitu pembayaran pajak.

Dalam praktiknya, rencana Raffles banyak dilanggar. Terbukti dengan diizinkannya Alexander Hare, seorang residen Banjarmasin yang mempekerjakan 3.000 orang Jawa untuk mendirikan perkebunan di dekat Banjarmasin. Para pekerja sebagai budak belian sehingga banyak sekali dari mereka yang meninggal dunia. Peristiwa ini dikenal dengan Banjarmasin Enormity. Namun demikian, masih ada kebaikan yang ditanamkan oleh Raffles dalam bidang kemanusiaan. Misalnya, mengadakan suntikan cacar dan menghapuskan papan penyiksa di pengadilan serta menggantinya dengan sistem juri seperti yang berlaku di pengadilan Inggris.

Setelah Inggris mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Rusia pada 1815, kekuasaan Inggris di Indonesia pun berakhir. Belanda dan Inggris mengadakan perundingan yang menghasilkan Konvensi London (1814) yang menetapkan semua bekas jajahan Belanda diserahkan kembali ke Belanda, kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu.

Pada 19 Agustus 1816, John Fendall melakukan serah terima dengan Belanda. Pihak Belanda menugaskan tiga orang Komisaris Jenderal, yaitu Elout, Buykeys, dan Van der Capellen untuk menerima penyerahan itu dan melanjutkan pemerintahan Belanda di Indonesia sampai 1819.

4. Pemerintahan Hindia Belanda

1. Sistem Tanam Paksa
Peperangan yang berlangsung di Indonesia, seperti Perang Paderi dan Perang Diponegoro telah menggerogoti keuangan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengirim seorang ahli keuangan bernama Johannes Van den Bosch ke Hindia Belanda. Setelah mengadakan penelitian di Hindia Belanda, ia menerapkan rencana Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.

Peraturan pokok Tanam Paksa adalah sebagai berikut.
a. Rakyat harus menanami 1/5 tanah dengan kopi, tebu, teh, dan tembakau.
b. Hasil tanaman harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
c. Tanah yang ditanami tanaman ekspor tersebut bebas dari pajak tanah.
d. Kaum petani tidak boleh disuruh bekerja lebih keras daripada bekerja untuk penanaman padinya.
e. Rakyat yang tidak memiliki tanah dikenakan kerja rodi selama 65 hari setiap tahun.
f. Kerusakan tanaman menjadi tanggungan pemerintah, apabila kerusakan itu bukan karena ke salahan rakyat.

Pelaksanaan Tanam Paksa diserahkan kepada kepala daerah yang mendapat cultuur procenten atau hadiah menurut banyaknya hasil. Oleh karena itu, rakyat diperas oleh kepala daerah bangsa sendiri dengan harapan akan mendapatkan cultuur procenten yang banyak. Peraturan Tanam Paksa pada praktiknya berbeda. Pertama, bukan 1/5 dari tanah petani yang ditanami, tetapi 1/4, 1/3, bahkan setengah dari tanah milik petani digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kedua, tanah yang dipakai penanaman tanaman ekspor tetap dikenakan pajak. Ketiga, para petani menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan tanaman pemerintah sehingga tidak ada waktu untuk menggarap sawahnya sendiri. Keempat, para kepala daerah tergiur akan cultuur procenten. Akibatnya, mereka mulai berlomba-lomba mengusahakan daerahnya agar memberikan hasil sebanyak mungkin. Kelima, kegagalan panen akibat hama atau banjir menjadi beban petani. Keenam, bukan 65 hari lamanya rakyat harus bekerja rodi, melainkan menurut ke perluan pemerintah. Akibat penerapan sistem ini rakyat sangat menderita, sementara Belanda memperoleh keuntungan besar sehingga keadaan keuangannya menjadi normal kembali. Bahkan, pembangunan di negeri Belanda dibiayai dari hasil Tanam Paksa.

Gambar 07 : Perkebunan Kopi dan Tembakau mulai berkembang di Indonesia sejak diberlakunya Sistem Tanam Paksa

Meskipun Tanam Paksa sudah menyimpang dari teori yang diciptakan Van den Bosch, pemerintah Belanda tidak mau peduli sebab Tanam Paksa telah memberikan keuntungan yang sangat besar. Sampai akhirnya, pelaksanaan Tanam Paksa mengundang reaksi dari kalangan bangsa Belanda sendiri, antara lain dari Baron van Hoevel dan Eduard Douwes Dekker. Baron van Hoevel secara terang-terangan mengutuk peraturan Tanam Paksa. Sebagai bekas pendeta, ia berani menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia setelah ia kembali ke Nederland.

2. Sistem Usaha Swasta Asing

Pada 1850, golongan liberal mendapat kemenangan di parlemen Belanda. Praktik Tanam Paksa di Indonesia, banyak ditentang oleh pengusaha-pengusaha Belanda karena tidak sesuai dengan paham liberal. Akhirnya, Pemerintah Belanda mengganti Tanam Paksa dengan Sistem Politik Liberal atau Politik Pintu Terbuka. Golongan pengusaha swasta Belanda dan Eropa datang ke Jawa dan Sumatra untuk menanamkan modal di perkebunan kopi, teh, dan kina. Pemerintah Belanda membuat Undang-Undang Gula dan Undang Undang Agraria 1870 untuk menghapus Tanam Paksa tebu dan bertujuan melindungi hak milik petani atas tanah agar tidak dikuasai bangsa asing.
Meskipun telah diatur dalam Undang-Undang Agraria, namun dalam perjanjian sewa-menyewa masih terdapat ketentuan-ketentuan lain yang harus ditaati. Misalnya, tanah milik negara yang bukan hak milik pribumi (tanah Domein) dapat disewa oleh kaum pengusaha swasta selama 75 tahun. Demikian juga tanah milik penduduk pribumi dapat disewa untuk jangka waktu 3 sampai 30 tahun dengan tarif yang rendah.
Berbagai bidang usaha segera berkembang pesat. Perkebunan perkebunan diperluas. Perhubungan laut dikuasai oleh perusahaan Koninklijke Paketvaart Maathappij (KPM), yaitu suatu perusahaan pengangkutan Belanda. Indonesia kini terbuka bagi siapa saja untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sistem Politik Liberal tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Perbudakan tetap dilakukan terutama saat membuka daerah baru di luar Pulau Jawa untuk perluasan perkebunan. Terlebih, keluarnya undang-undang yang mengatur kuli-kuli (koeli ordonantie). Para kuli yang mencoba melarikan diri akan dikenakan sanksi, yang dikenal dengan Poenale Sanctie (sanksi terhadap para kuli).

C. Kebudayaan pada Masa Kolonial Eropa di Indonesia

Masa kekuasaan kolonial dari abad ke-16 sampai awal abad ke-20, meninggalkan kebudayaan tersendiri di Indonesia sampai sekarang. Berikut ini adalah contoh-contoh bentuk peninggalan kebudayaan kolonial.

1. Persebaran Agama Kristen

Salah satu tujuan kolonialisme adalah menyebarkan agama Kristen di setiap wilayah yang dikunjunginya. Oleh karena itu, dalam setiap pelayarannya, misionaris maupun zending ikut serta dalam kegiatan pelayaran.
Fransiscus Xaverius ialah seorang misionaris asal Portugis di Maluku. Banyak orang Ambon yang akhirnya memeluk agama Kristen Katolik. Hal ini terlihat dari nama-nama orang Ambon yang meniru nama-nama bangsa Portugis, seperti de Pereira, de Fretes, Lopes, de Quelju, atau Diaz.

2. Pendidikan

Pada masa pemerintah kolonial didirikan sekolah. Tujuan pendirian sekolah tersebut untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah. Adapun sekolah sekolah yang berdiri pada masa kolonial adalah Sekolah Dokter Djawa yang berdiri pada 1851. Pada 1900 didirikan OSVIA (Opleiding School voor Indische Ambtenaren) untuk menghasilkan tenaga hakim, jaksa, dan pangrehpraja. Pada 1920, di Bandung didirikan SekolahTinggi Tekhnik (Technische Hooge School), yang berubah menjadi ITB.

3. Kereta Api

Pertengahan abad ke-19, jalan kereta api merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan transportasi. Dibangunnya jalur kereta api untuk pengangkutan hasil perkebunan sudah tidak dapat dipenuhi lagi oleh transportasi lewat jalan pos. Kebutuhan terhadap sarana transportasi (kereta api) baru terasa sejak adanya pertumbuhan perkebunan di Jawa dan Sumatra, terutama di lembah-lembah sungai yang subur di pedalaman Jawa. Perusahaan pertama yang mengembangkan sarana transportasi di wilayah Nusantara adalah Poolman pada 1863 untuk membuat jalan Semarang–Yogyakarta. Adapun perusahaan Nederlands Indische Stroomtram-Maschappij membuat jalan Batavia–Biutenzorg.

4. Meriam

Persenjataan yang digunakan oleh bangsa Eropa banyak diadopsi oleh bangsa Indonesia. Pada saat ini kamu bisa melihat peninggalan bangsa Portugis yang kemudian dianggap keramat oleh bangsa Indonesia. Contohnya meriam-meriam yang terkenal dengan nama Nyai Setomi di Solo, Si Jagur di Jakarta, atau Ki Amuk di Banten.

5. Arsitektur dan Bahasa

Pengaruh budaya kolonial dalam bidang arsitektur, dapat dilihat dari beberapa bangunan kuno, kantor-kantor pemerintahan yang dibangun pada masa kolonial, masih dipertahankan dan dipergunakan untuk keperluan yang sama. Gedung Sate merupakan salah satunya dan masih dipergunakan untuk gedung pemerintahan. Selain itu, ornamen-ornamen pada gerbang Masjid Penyengat atau Keraton Surakarta telah mendapat pengaruh Barat. Terlihat dari bentuk ornamen bangunannya yang bergaya Barat. Beberapa kosakata Portugis masuk ke dalam bahasa Indonesia, antara lain San Dominggo (Tuhan yang keramat), gereja, mentega, atau sinyo.






Sumber : Nurhadi, Budi A. Saleh,  Diding Ahmad Badri, Paula Susanti. 2009. Jelajah Cakrawala Sosial 1 : Ilmu Pengetahuan Sosial; Untuk Kelas VII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Comments