1. Periodisasi masyarakat Indonesia masa praaksara
Zaman praaksara, yaitu zaman sebelum manusia mengenal
tulisan. Sejarah dapat dipelajari berdasarkan peninggalan benda-benda purbakala
berupa artefak, fitur, ekofak, dan situs. Artefak adalah semua benda yang jelas memperlihatkan hasil garapan
sebagian atau seluruhnya sebagai pengubahan sumber alam oleh tangan manusia. Fitur adalah artefak yang tidak dapat
dipindahkan tanpa merusak tempatnya. Ekofak
adalah benda dari unsur lingkungan abiotik atau biotik. Situs adalah bidang tanah yang
mengandung peninggalan purbakala.
Dari kehidupan masyarakat zaman praaksara, kita mendapatkan
warisan berupa alat-alat dari batu, tulang, kayu, dan logam serta lukisan pada
dinding-dinding gua. Masa lampau
yang hanya meninggalkan jejak-jejak sejarah tersebut menjadi komponen penting
dalam
usaha menuliskan sejarah kehidupan manusia. Jejak-jejak tersebut mengandung
informasi
yang dapat dijadikan bahan penulisan sejarah dan akan disampaikan dari
generasi
ke generasi berikutnya sampai turun temurun. Jejak sejarah yang historis
merupakan
jejak sejarah yang menurut para ahli memiliki informasi tentang kejadian-kejadian
historis, sehingga dapat dipergunakan untuk penulisan sejarah.
Jejak historis ada dua,
yaitu jejak historis berwujud benda dan jejak historis yang berwujud tulisan.
Jejak
historis berwujud benda merupakan hasil budaya/tradisi di masa kuno, misalnya,
tradisi
zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, Megalitikum, dan Perundagian.
a.
Tradisi manusia hidup berpindah (zaman Paleolitikum)
Manusia di zaman hidup berpindah termasuk jenis Pithecanthropus.
Mereka hidup dari mengumpulkan makanan (food gathering), hidup di
gua-gua, masih tampak liar, belum mampu menguasai alam, dan tidak menetap.
Kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Disebut kebudayaan Pacitan sebab alat-alat budayanya banyak ditemukan di
Pacitan (di Pegunungan Sewu Pantai Selatan Jawa) berupa chopper (kapak
penetak) disebut juga kapak genggam. Karena masih terbuat dari batu maka
disebut stone culture (budaya batu). Alat sejenis juga ditemukan di
Parigi (Sulawesi) dan Lahat (Sumatra). Kebudayaan Ngandong ditemukan di desa
Ngandong (daerah Ngawi Jawa Timur). Alatnya ada yang terbuat dari tulang maka
disebut bone culture. Di Ngandong ditemukan juga kapak genggam, benda
dari batu berupa flakes dan batu indah berwarna yang disebut chalcedon.
Gambar 01 : Kapak Genggam, Contoh Kehidupan Pacitan
Sumber : Wardaya,
2009. Cakrawala Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional.
b.
Peningkatan hidup manusia memasuki hidup setengah menetap/semisedenter
(zaman Mesolitikum) Mereka sudah memiliki kemajuan hidup seperti adanya kjokkenmoddinger (sampah kerang) dan abris sous roche (gua tempat tinggal). Alat-alatnya adalah kapak genggam (pebble) disebut juga kapak Sumatra, kapak pendek (hache courte), dan pipisan.
(zaman Mesolitikum) Mereka sudah memiliki kemajuan hidup seperti adanya kjokkenmoddinger (sampah kerang) dan abris sous roche (gua tempat tinggal). Alat-alatnya adalah kapak genggam (pebble) disebut juga kapak Sumatra, kapak pendek (hache courte), dan pipisan.
c.
Tradisi manusia zaman hidup menetap (zaman Neolitikum)
Pada zaman ini, manusia sudah mulai food producing, yakni
mengusahakan bercocok tanam sederhana dengan mengusahakan ladang. Jenis
tanamannya adalah ubi, talas, padi, dan jelai. Mereka menggunakan peralatan
yang lebih bagus seperti beliung persegi atau kapak persegi dan kapak lonjong
yang dipergunakan untuk mengerjakan tanah. Kapak persegi ditemukan di Sumatra,
Jawa, Bali, dan Kalimantan Barat, sedangkan di Semenanjung Melayu kapak ini
disebut kapak bahu. Kapak lonjong berbentuk bulat telur, banyak ditemukan di
Sulawesi, Papua, atau kepulauan Indonesia Timur. Alat serpih untuk mata panah dan
mata tombak ditemukan di Gua Lawa Sampung (Jawa Timur) dan Cabbenge (Sulawesi
Selatan). Di Malolo (Sumba Timur) ditemukan kendi air. Pada masa ini, terjadi
perpindahan penduduk dari daratan Asia (Tonkin di Indocina) ke Nusantara yang
kemudian disebut bangsa Proto Melayu pada tahun 1500 SM melalui jalan barat dan
jalan utara. Alat yang dipergunakan adalah kapak persegi, beliung persegi, pebble
(kapak Sumatra), dan kapak genggam. Kebudayaan itu oleh Madame Madeleine
Colani, ahli sejarah Prancis, dinamakan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Kepercayaan
zaman bercocok tanam adalah menyembah dewa alam.
1. Tradisi Megalitikum
Pada zaman ini, alat dibuat dari batu besar seperti menhir,
dolmen, dan sarkofagus. Menhir adalah tugu batu besar tempat roh nenek moyang,
ditemukan di Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan. Dolmen adalah
meja batu besar (altar), terdapat di Bondowoso, Jawa Timur. Sarkofagus adalah
kubur peti batu besar. Di Sulawesi, sarkofagus dikenal dengan sebutan waruga.
2. Tradisi zaman perundagian
Setelah hidup menetap, mereka semakin pandai membuat alat,
bahkan dengan kedatangan bangsa Deutero Melayu pada 500 SM, mereka sudah mampu membuat
alat dari logam (sering disebut budaya Dongson karena berasal dari Dongson).
Zaman ini disebut zaman kemahiran teknologi. Mereka juga telah mengenal sawah
dan sistem pengairan. Jenis benda logam yang dibuat di Indonesia pada zaman
ini, antara lain, sebagai berikut :
1.
Nekara, yaitu semacam
tambur besar yang ditemukan di Bali, Roti, Alor, Kei, dan Papua.
2.
Kapak corong, disebut
demikian karena bagian tangkainya berbentuk corong. Sebutan lainnya adalah
kapak sepatu. Benda ini dipergunakan untuk upacara. Banyak ditemukan di
Makassar, Jawa, Bali, Pulau Selayar, dan Papua.
3.
Arca perunggu, ditemukan di
daerah Bangkinang, Riau, dan Limbangan, Bogor. Selain itu, ada perhiasan
perunggu, benda besi, dan manik-manik. Kepercayaan di zaman perundagian adalah
menyembah roh nenek moyang (animisme).
Gambar 02 : Kapak Corong dan Nekara
Sumber : Wardaya, 2009. Cakrawala
Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
2. Ciri-ciri
masyarakat praaksara
Setelah
nenek moyang kita datang di Nusantara dan menetap, mereka meninggalkan tradisi,
aturan kemasyarakatan, serta religi yang ditaati oleh mereka dan anak
keturunannya. Tradisi tersebut diwariskan kepada masyarakat hingga sekarang ini.
Kemampuan nenek moyang kita sebelum mengenal tulisan dan sebelum terpengaruh
budaya Hindu-Buddha oleh Brandes dikelompokkan sebagai berikut.
Kemampuan berlayar
Nenek
moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan sebelum Masehi. Mereka sudah pandai
mengarungi laut dan harus menggunakan perahu untuk sampai di Indonesia. Kemampuan
berlayar ini dikembangkan di tanah baru, yaitu di Nusantara, mengingat kondisi geografi di Nusantara terdiri banyak pulau.
Kondisi ini mengharuskan menggunakan perahu untuk mencapai kepulauan lainnya.
Salah satu ciri perahu yang dipergunakan nenek moyang kita adalah perahu cadik,
yaitu perahu yang menggunakan alat dari bambu atau kayu yang dipasang di kanan
kiri perahu. Pembuatan perahu biasanya dilakukan secara gotong royong oleh kaum
laki-laki. Setelah masa perundagian, aktivitas pelayaran juga semakin
meningkat. Perahu bercadik yang merupakan alat angkut tertua tetap dikembangkan
sebagai alat transportasi serta perdagangan. Bukti adanya kemampuan dan
kemajuan berlayar tersebut terpahat pada relief candi Borobudur yang berasal
dari abad ke-8. Relief tersebut melukiskan tiga jenis perahu, yaitu 1) perahu
besar yang bercadik, 2) perahu besar yang tidak bercadik, dan 3) perahu lesung.
Bentuk perahu lesung adalah sampan yang dibuat dari satu batang kayu yang
dikeruk di dalamnya menyerupai lesung, tetapi bentuknya memanjang. Untuk
memperbesar ruangannya, pada dinding perahu ditempel papan serta diberi cadik
pada sisi kanan dan kirinya untuk menjaga keseimbangan. Kapal yang besar pada
relief candi Borobudur mempunyai dua tiang layar yang dimiringkan ke depan,
sedangkan layar yang dipakai pada zaman itu berbentuk segi empat dengan buritan
layar berbentuk segitiga.
Kemampuan
berlayar selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang. Oleh karena itu,
pada awal Masehi bangsa Indonesia sudah berlayar sampai batas barat Pulau
Madagaskar, batas selatan Selandia Baru di timur Pulau Paskah, dan di utara
sampai Jepang. Hal ini dapat terjadi karena nenek moyang memiliki ilmu
astronomi, yaitu Bintang Biduk Selatan menjadi petunjuk arah selatan.
Kemampuan bersawah
Sistem
persawahan mulai dikenal bangsa Indonesia sejak zaman Neolitikum, yaitu manusia
hidup menetap. Mereka terdorong untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan (food
producing). Sistem persawahan diawali dari sistem ladang sederhana yang
belum banyak menggunakan teknologi, kemudian meningkat dengan adanya teknologi
pengairan hingga lahirlah sistem persawahan.
Sistem
irigasi dalam bercocok tanam digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dengan cara
membuat pematang dan saluran air. Cara ini kemudian meningkat menjadi pembuatan
terasering di lereng pegunungan, serta pembuatan bendungan atau dam air yang
sederhana. Sementara itu, untuk mengerjakan sawah dibuatlah alat-alat dari
logam dan mengembangkan tanaman biji-bijian, padi, juwawut, serta tanaman
kering lainnya.
Mengenal astronomi
Pengetahuan
astronomi (ilmu perbintangan) sudah dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi
angin musim sebagai tenaga penggerak dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Selain digunakan untuk mengenali musim, ilmu astronomi juga sudah dimanfaatkan
sebagai petunjuk arah dalam pelayaran, yaitu Bintang Biduk Selatan dan Bintang
Pari (orang Jawa menyebut Lintang Gubug Penceng) untuk menunjuk arah selatan
serta Bintang Biduk Utara untuk menunjukkan arah utara. Kemampuan astronomi dan
angin musim ini telah mengantarkan mereka berlayar ke barat sampai di Pulau Madagaskar,
ke timur sampai di Pulau Paskah, dan ke selatan sampai di Selandia Baru serta
ke arah utara sampai di Kepulauan Jepang. Pengetahuan astronomi juga digunakan dalam
pertanian dengan memanfaatkan Bintang Waluku sebagai pertanda awal musim hujan.
Sistem mocopat
Sistem
mocopat adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat penjuru
arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Sistem mocopat
dikaitkan dengan pendirian bangunan, pusat kota atau pemerintah (istana),
alun-alun, tempat pemujaan, pasar, dan penjara. Peletakan bangunan tersebut
dibuat skema bersudut empat di mana setiap sudut mempunyai kemampuan dan
kekuatan secara magis. Itulah sebabnya mengapa setiap desa pada zaman kuno
selalu diberi sesaji pada waktu-waktu tertentu, bahkan hari pasaran menurut
perhitungannya juga dikaitkan dengan sistem mocopat, yaitu 1) arah barat
diletakkan pon jatuh hari Senin dan Selasa, 2) arah timur diletakkan legi jatuh
hari Jumat, 3) arah selatan diletakkan pahing jatuh hari Sabtu dan Minggu, 4)
arah utara diletakkan wage jatuh hari Rabu dan Kamis, dan 5) arah tengah
diletakkan kliwon jatuh hari Jumat dan Sabtu.
Jadi pola
susunan masyarakat mocopat merupakan suatu kepercayaan dalam menata dan
menempatkan suatu bangunan yang bersudut empat, dengan susunan ibu kota pusat
pemerintahan terdapat alun-alun di sekitar istana, serta ada bangunan tempat
pemujaan, pasar, dan penjara. Di daerah Tuban, Jawa Timur di masa dahulu masih
terdapat model desa penenun sebagai berikut. 1) Pusat desa lama terdapat di
tengah desa (dikelilingi desa) di dalamnya terdapat rumah kepala desa, rumah pencelupan
kain, dan rumah ulama. 2) Pusat administrasi berada di belakang rumah kepala
desa. 3) Kemudian dikelilingi desa-desa mocopat yang membentuk lingkaran
mengelilingi pusat desa tersebut. Demikian kaitan antara sistem mocopat dengan
religiositas di masa nenek moyang kita.
Kesenian wayang
Kesenian
wayang semula berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Semula wayang
diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada malam
hari. Dengan beralaskan tirai dan tata lampu di belakangnya serta boneka yang digerak-gerakkan
sehingga terlihat bayangan boneka seolah-olah hidup. Jika dalang kemasukan roh
nenek moyang, sang dalang akan menyuarakan suara nenek moyang yang berisi
nasihat-nasihat kepada anak cucu mereka. Setelah kedatangan hinduisme ke nusantara
maka kisah nenek moyang digantikan kisah Ramayana dan Mahabharata. Bonekanya kemudian
diganti dengan bentuk tokoh dalam cerita Mahabharata. Fungsinya pun beralih sebagai
pertunjukan dan penontonnya melihat dari depan tirai. Pada zaman Kediri, muncul
kitab Gatotkacasraya yang mulai menampilkan dewa asli Jawa, yakni Punakawan
yang berperan agresif dan dinamis dalam membimbing dan mengawal para Pandawa
dari ancaman musuhnya, yakni Kurawa (kitab Gatotkacasraya memuat unsur javanisasi).
Pada waktu senggang, nenek moyang yang sudah menetap dan hidup bercocok tanam
menyalurkan bakat seninya serta pemujaan setelah panen dengan pertunjukan wayang.
Pertunjukan tersebut untuk memuja Dewi Sri yang telah memberi berkah pertanian.
Selain itu, pertunjukan wayang merupakan tontonan yang di dalamnya terdapat nasihat
yang berharga.
Seni gamelan
Seni
gamelan ada kaitannya dengan seni wayang. Seni gamelan ini dipakai untuk mengiringi
pertunjukkan wayang. Pada waktu musim bercocok tanam sudah usai masyarakat kuno
itu membuat alat musik gamelan, mengembangkan seni membatik, dan mengadakan
pertunjukan wayang semalam suntuk untuk dapat dilihat oleh masyarakat di sekitarnya.
Seni membatik
Seni
membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara menggambarnya mempergunakan
alat canting yang diisi bahan cairan lilin (orang Jawa menyebutnya malam) yang
telah dipanaskan, lalu dilukiskan pada kain sesuai motifnya. Bagian kain yang
tidak terkena malam/cairan lilin akan menjadi berwarna merah setelah dimasukkan
dalam air soga. Membatik dilakukan untuk mengisi waktu luang bercocok tanam
setelah panen, sekaligus merupakan kegiatan religius, sebab ada kegiatan
membatik tertentu yang dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang mereka.
Pengaturan masyarakat
Nenek
moyang kita hidup berkelompok. Mereka bersepakat untuk hidup secara bersama, hidup
gotong royong, dan demokratis. Mereka memilih seorang pemimpin yang dianggap dapat
melindungi masyarakat dari berbagai gangguan termasuk gangguan roh sehingga seorang
pemimpin dianggap memiliki kesaktian lebih. Cara pemilihan pemimpin yang
demikian disebut primus inter pares, yaitu yang terutama di antara yang
banyak. Jadi, seorang pemimpin adalah yang terbaik bagi mereka bersama.
Sistem ekonomi dengan mengenal perdagangan
Kebutuhan
hidup manusia selalu menuntut untuk dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
masyarakat kuno saling bertukar barang (barter) dari satu wilayah ke wilayah
lain. Jadi, dalam hal perdagangan, nenek moyang kita sudah melaksanakan
kegiatan barter dikarenakan mereka belum mengenal uang, nilainya berdasarkan
kesepakatan bersama.
Sistem kepercayaan
Manusia
yang terdiri atas jasmani dan rohani memunculkan suatu kepercayaan bersifat
rohani yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk riil. Sistem kepercayaan masyarakat
Indonesia mulai tumbuh pada masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, ini
dibuktikan dengan penemuan lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan berbentuk
cap tangan merah dengan jari-jari yang direntangkan. Lukisan itu diartikan sebagai
sumber kekuatan atau simbol perlindungan untuk mencegah roh jahat. Manusia di
zaman hidup bercocok tanam sudah percaya adanya dewa alam yang menciptakan
banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.
Pada
zaman perundagian, masyarakat sudah percaya kepada roh nenek moyang. Mereka
percaya jiwa dan roh berdiam di batu besar, pohon besar, dan sebagainya.
Kepercayaan ini pada akhirnya diwariskan kepada kita hingga masa sekarang.
Artikel
Lanjutan : Tradisi Sejarah Masyrakat Indonesia Masa Aksara
Artikel Terkait :
Sumber :
1. Listiyani, Dwi Ari. 2009. Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan nasional.
2. M, Tarunasena, 2009. Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departeman Pendidikan Nasional.
3. Wardaya, 2009. Cakrawala Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional.


Comments
Post a Comment
Tujuan berkomentar untuk menambah wawasan kita semua.