Untuk
mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat
digunakan sumber yang berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang
berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya
Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau
Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah
untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.
Gambar
01 : Salah satu situs liangan, sisa peninggalan mataram kuno
Perkembangan
Pemerintahan
Sebelum
Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama
Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa
Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha,
saudara perempuan dari Sanna. Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto,
Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu).
Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti
Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta
Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa. Sanjaya
tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan
kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil
bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja
Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan.
Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan
suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja
lain.
Gambar 02 : Prasasti
Canggal dan Sojomerto
Raja Sanjaya bersikap
arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan
rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja
Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian
dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi
kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di
atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di
sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Gambar 03 : Candi
Kalasan
Setelah Raja Sanjaya
wafat, ia digantikan oleh putranya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti
Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah
dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk
para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti
Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran Rakai Panangkaran. Raja
Panangkaran kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur. Raja
Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh
kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari
Dinasti Syailendra.
Agama
Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga
memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi
Kalasan dan arca Manjusri. Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul
persoalan dalam
keluarga Syailendra, karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang
sudah memeluk agama
Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa). Hal
ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu
pemerintahan dipimpin
oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu
berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang
terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian
selatan. Keluarga Syailendra
yang beragama Hindu meninggalkan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian utara.
Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng)
dan kompleks Candi
Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng memakai nama-nama tokoh wayang seperti Candi
Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar. Sementara yang
beragama Buddha meninggalkan candi candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan
Borobudur. Candi Borobudur
diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M.
Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani
dan Pikatan.
Perpecahan
di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama.
Keluarga itu akhirnya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai
Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari
Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu,
Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja
Pikatan.
Setelah
Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama
Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian
terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan
Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng
pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan.
Benteng ini sekarang kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran,
Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra.
Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram
Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun
856 Rakai Pikatan turun
takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi
kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja
yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan
gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya
Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidang-bidang politik, pemerintahan,
ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi
Prambanan sebagai
candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah
pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai
mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung adalah
Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menyebabkan
kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana alam dan
ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Kekuasaan
Dinasti Isyana
Pertentangan
di antara keluarga Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa pemerintahan
Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan
Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan
mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di samping karena pertentangan
keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami
kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, pusat
pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan
dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa
Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah,
dan Bali.
Setelah Mpu
Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya.
Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah
putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan
ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh
yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa
Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno.
Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhtah ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang
saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga
berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami
agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha
sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka
berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan
yang ada.
Setelah
dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik
dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala
dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali
daerah daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa
Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke
Kahuripan. Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan,
lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir
pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya
TunggaDewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang
petapa dengan nama Ratu Giriputri.
Airlangga
memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah
Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara
di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah
timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana),
dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar
Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di
sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya
(Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri
dan Madiun. Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem
administrasi kewilayahan negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas
tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa
ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh
seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu
sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan
yang disebut dengan bhumi.
Artikel
Terkait :
Sumber :
G, Restu dkk, 2013. Sejarah Indonesia. Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Comments
Post a Comment
Tujuan berkomentar untuk menambah wawasan kita semua.