A. Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak
dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan
luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten
Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan
nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman
Simanjuntak, Sangiran
Menjawab Dunia diterangkan
bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari
Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di
Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan
manusia dunia,
yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000
tahun yang lalu.
Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan
kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah
timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa
cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian
puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang
bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya
berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba
dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran
berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan
terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun
1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari
wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan
dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan
tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934,
Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah
Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak
litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak
penemuan Von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan
dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan.
Homo erectus adalah takson paling
penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens,
manusia modern. Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi
fIsik manusia saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi
budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri
geologis-stratigrafs yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta
tahun, menunjukkan tentang hal itu.
Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi
manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada
1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List)
UNESCO.
Gambar 01 : Fosil manusia yang ditemukan di Sangiran
Fosil tersebut sebagai
Sangiran 17 sesuai dengan nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di
Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian
wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap
dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
B. Trinil,
Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois
mengawali temuan Pithecantropus
erectus di
Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng,
Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng
selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan
berfosil di
Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat
kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu
menunjukkan ciri
gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen
rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian
dikenal dengan
Pithecantropus A.
Gambar 02 : Fosil-fosil yang ditemukan di Kedungbrubus
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran
Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur. Tinggalan
purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum Von
Koeningswald menemukan
Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah
membawa penemuan
sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia
pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo.
Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan
beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah
berjalan tegak. Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat
pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak
kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat
menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas,
menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat
bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya
sambungan perekatan antar tulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai
usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini
juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah;
dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia
sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes
perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi
para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh
Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak
itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga
dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan
menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut
menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari
Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di
Indonesia.
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu
sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo
erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc.
Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan
dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan
berumur antara 300.000-100.000 tahun. Berdasarkan beberapa penelitian yang
dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis manusia purba
yang pernah hidup di zaman pra-aksara.
1.
Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini
terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan
1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil
rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus
paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini
memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis
manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen
Awal.
2.
Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan
pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk
kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis
ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang
berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus
mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo
erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis
manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
Gambar 03 : Tengkorak Pithecanthropus
erectus yang ditemukan di Trinil
3.
Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama
diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene
Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis
manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih
menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fsiknya
tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia
ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak
hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fsik, volume otak maupun
postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern.
Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena
telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam.
Bagaimanakah mereka muncul
ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru
dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan
morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus.
Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus.
Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo
erectus. Hal ini mengindikasikan bahwa secara fsik Homo sapiens jauh
lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri
morfologis maupun biometriks Homo sapiens menunjukkan karakter yang
lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo yang sangat
nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya
tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan
lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti
penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia
Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir
zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan
manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fsiknya dikenal
sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul
penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia.
Berdasarkan karakter fsiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongolid.
Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang.
Beberapa spesimen
(penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Manusia
Wajak
Manusia Wajak (Homo
wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara
dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala
Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten
di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung,
Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa
tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher.
Temuan Wajak itu adalah Homo
sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya
menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening
nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan
mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890
di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang
atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini
terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot
sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi
yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari
tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar.
Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya
dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun
Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu
Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal
itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu
berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang.
Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya sangat
menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri ke dua
ras di atas.
Temuan Wajak menunjukkan
pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo
sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat
sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri.
Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan
Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo
neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras
yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak
hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di
sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo
sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang.
Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras
Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang
lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang
di tempatnya yang baru, tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid
yang dahulu berasal dari ras Wajak.
Gambar 04 : Fosil manusia
Wajak
b.
Manusia
Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan
manusia Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim
peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di
Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfah merupakan sebuah gua yang
dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang
datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra aksara.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang
berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya.
Liang Bua merupakan sebuah
temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang
menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September
2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian
diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil
Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an,
sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya
kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa
fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi
dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka
manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan
barang-barang gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik
dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan
rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada
jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400
cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono
dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa
kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan
temuan-temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa
Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman
Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia
Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri
Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian
oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu
menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang
menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai
kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil
gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan perdebatan mengenai
status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies
baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang
telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih
mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter
kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo
sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan
Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan
pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga
sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat
sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa
hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6
seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
Gambar
05 : Fosil tengkorak manusia purba Flores dan fosil geraham
C.
Perdebatan
Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan
dengan teori evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles
Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu seperti berikut.
Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan
pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam
publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus
erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan moyang manusia.
Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak
dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri
modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak
tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp.,
dan tulang pahanya milik manusia modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti
bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan
ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi
yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois
mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun
1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British Zoology Society di London.
Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya
itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada
tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan
Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir
di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi
manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara
tentang ontogenesa dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan
formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan
penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi
dengan menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui
perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur
evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa flogenesa dan ontogenesa sama
sekali tidak dapat dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak
tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah
besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak
fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus
erectus. Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan
memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan
genus yang berbeda dengan manusia modern.
Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo
sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu
hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus
erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species
aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai
Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan
puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa,
bagian dari Homo erectus.
Baca Juga :
Sumber :
G, Restu dkk, 2013. Sejarah Indonesia. Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.






Comments
Post a Comment
Tujuan berkomentar untuk menambah wawasan kita semua.