Adat
perkawinan di Indonesia banyak sekali ragamnya, setiap suku mempunyai
adat perkawinan sesuai dengan agama dan tradisi upacara yang ada di daerah
masing-masing, antara lain sebagai berikut.
1. Adat Perkawinan Suku Manggarai Nusa
Tenggara Timur
Dalam
bahasa Manggarai, perkawinan disebut Kawing,
ata rona (laki-laki) yang akan
menikah disebut na’a wina, dan ata wina (perempuan) yang akan menikah
disebut na’a rona, sedangkan
kehidupan yang mereka jalani setelah menikah disebut kaeng kilo.
Gambar : Acara Wagal dalam rangkaian upacara perkawinan adat Manggarai.
Adapun
rangkaian acara kawing (perkawinan)
adalah sebagai berikut:
a. Persiapan
pongo agu tiba meka
Merupakan acara yang dilangsungkan oleh
keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Keluarga laki-laki, sebelum pergi
untuk merundingkan upacara peminangan, maka dilangsungkan upacara teing hang (Memberi makan leluhur) untuk
memohon restu leluhur dan Tuhan agar acara Pongo
nanti dapat berjalan dengan lancar. Demikian pula keluarga perempuan,
melangsungkan upacara yang sama (teing
hang) agar upaca Pongo dan tiba meka (menerima keluarga dari pihak
laki-laki) berjalan dengan lancar.
b. Acara Pongo (Weda rewa-tuke mbaru)
Pongo adalah ucapan dalam bahasa
Manggarai, artinya mengadakan ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Ada
kebiasaan kedua belah pihak, yakni keluarga pria dan wanita berunding waktu
untuk acara pongo ini. Keluarga pria
akan membawa serta kambing (mbe) dan
ayam (manuk) pada saat mereka datang
ke rumah keluarga perempuan. Selain itu, mereka juga membawa serta sejumlah
uang yang dimaksudkan untuk seng kembung (sejumlah
uang untuk menghargai makanan, minuman serta pelayanan pihak perempuan), seng raja do (segala jenis keuangan yang
menjadi bagian dari adat perkawinan), seng
pongo (uang ikatan), seng wali tuak
rongko (uang rokok dan semua minuman yang disajikan) dan seng tadu lopa (uang lelah pelayanan
keluarga mempelai perempuan).
Lazimnya bila sudah diadakan acara
pongo, maka status hubungan laki-laki dan perempuan berada pada masa
pertunangan. Agar ikatan itu resmi, kuat secara adat, maka pihak laki-laki
menyerahkan uang ikatan (seng pongo).
Jumlah uang ikatan tergantung pembicaraan adat saat itu. Acara pongo itu bermaksud agar keduanya saling
setia, percaya pada janji untuk tidak memilih atau menerima laki-laki atau
perempuan lain. Untuk itu, pada saat acara ini ada acara pertukaran cincin
sebagai tanda persatuan.
c. Acara Kempu
Kempu
adalah putusan akhir pembicaraan adat, perihal berupa seluruhnya biaya belis sejak peminangan awal sampai acara
adat terakhir. Dengan kata lain, ketentuan berapa total biaya peminangan
perempuan seluruhnya harus ditetapkan secara adat. Bahkan pada saat ini pihak
keluarga laki-laki dapat menyerahkan dana untuk anggaran belanja perkawinan,
bila perlu kalau pihak keluarga laki-laki mampu, bisa membawa terlebih dahulu
hewan berupa kerbau (kaba), kuda (jaranga) sebagai belis (paca) dan sapi untuk acara rame kawing (hewan sembelihan saat
pernikahan).
d. Reke Kawing
Reke
Kawing ialah rencana penentuan pelaksanaan pernikahan atau
perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, keluarga perempuan dan
keluarga laki-laki.
e. We’e
We’e
adalah
tahapan yang dimaksudkan agar pihak keluarga pria mendatangi keluarga mempelai
perempuan untuk membawa uang dan hewan yang telah disepakati. Pada saat ini
dilangsungkan acara coga seng paca (menyerahkan
uang) dan belis (hewan berupa kerbau dan kuda dan sebagainya) dari pihak anak wina (keluarga laki-laki) pada
pihak anak rona (keluarga perempuan)
yang dipandu oleh kedua juru bicara (tongka)
masing-masing. Acara coga seng agu paca semua
hal yang telah dibicarakan harus diserahkan di sini, baik menyangkut uang pacai, hewan kerbau dan kuda, maupun adat
lainnya.
f. Kawing
Kawing
adalah
pernikahan antara kedua mempelai, sebagai suami istri yang dikukuhkan dalam
sakramen Perkawinan dan direstui oleh kedua keluarga dan kerabat, baik keluarga
besar pihak laki-laki maupun keluarga besar pihak mempelai perempuan.
g. Rame Kawing
Rame
kawing adalah pesta pernikahan atau perkawinan kedua
mempelai.
h. Karong Kilo atau
Lo’ang
Dalam acara ini, pihak orang tua-tua
dari mempelai perempuan mengantar pengantin ke dalam kamar tidur. Dalam kamar
itu, kedua mempelai diberi nasihat yang bertujuan agar kehidupan mereka di hari
yang akan datang rukun dan damai serta saling membahagiakan.
i. Wagal
atau
Nempung
Wagal
adalah
puncak dari acara adat dalam tradisi perkawinan orang Manggarai. Pada saat ini
pihak laki-laki (anak wina) membawa
sejumlah belis (berupa uang dan binatang), yang telah disepakati pada saat
masuk minta kepada pihak perempuan (anak
rona). Acara ini dimaksudkan agar seluruh warga kampung (pa’ang agu ngaung) mengetahui bahwa
keduanya sudah resmi menjadi suami istri. Pada saat itu disembelih babi atau
kerbau dan dibagikan kepada seluruh warga kampung sehingga muncul istilah “wegak sa’i ela, sikat sai kina atau cikat kina wagak atau wagal kaba, lancing
sili (pembunuhan atau penyembelihan babi).
j. Acara
Podo
Podo
adalah
mengantar mempelai perempuan bersama mempelai laki-laki ke kampung suami atau
keluarga (klan) suami. Orang yang ikut atau pergi waktu acara podo cukup orang muda, ibu-ibu dan orang
tua saja. Pada saat podo, pihak anak rona membawa serta beras dan babi. Anak wina akan menyiapkan uang sebagai
uang ucapan terima kasih (seng wali)
yang akan diberikan kepada orang-orang yang pergi mengantar mempelai wanita
tersebut.
k. Acara Gerep Ruha atau
Pentang Pitak
Gerep
ruha adalah menginjak telur ayam oleh mempelai perempuan
saat masuk pertama kali ke kampung suami. Pada saat upacara ini pengantin
wanita dihantar menuju rumah orang tua pengantin laki-laki. Di depan pintu
rumah sudah disiapkan sebutir telur ayam dan pada saat itu pengantin wanita
harus menginjak telur tersebut sebelum masuk ke dalam rumah. Setelah pengantin
berada di dalam rumah barulah seluruh rombongan atau anggota keluarga yang
datang masuk ke dalam rumah.
2. Adat
perkawinan Suku Batak
Pada masyarakat Batak ada ketentuan seorang pemuda
dalam memilih calon istrinya, dianggap ideal apabila
menikah dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Mereka
tidak boleh mengadakan perkawinan dalam satu marga atau mengambil anak
perempuan dari saudara perempuan ayah untuk dijadikan istri.
Proses perkawinan dimulai dengan penjajakan tidak
resmi antara keluarga pria terhadap keluarga wanita.
Setelah ada kecocokan pihak lakilaki melamar dengan mengirimkan utusan untuk marhusip atau mungkuni. Apabila keluarga
wanita menerima marhusip itu, tahap berikutnya adalah ngembah manuk, yaitu
perundingan antara dua keluarga guna menentukan mas kawin atau
tukur/tuhor. Mas kawin ini dapat berupa perhiasan dan dapat pula
berbentuk babi atau kerbau. Ditentukan pula berapa jumlah harta yang
akan diterima oleh saudara laki-laki ibu gadis. Ini disebut tulang, upa atau bere-bere. Juga
ditentukan jumlah
harta yang akan diterima oleh saudara nenek si gadis dari pihak ibu
(perempuan).
Masih banyak lagi kewajiban pemberian harta dari pihak keluarga calon
pengantin pria kepada keluarga pihak si gadis. Semua dilakukan dengan
perundingan dan pembicaraan terakhir, yaitu menentukan perkawinan yang
akan dilaksanakan.
Upacara perkawinan umumnya dilakukan secara meriah
dengan berbagai nyayian dan tarian serta
pemotongan kerbau atau beberapa ekor babi untuk keperluan pesta. Adat Batak
juga mengenal adanya kawin lari yang disebut mangalua. Jika kawin lari
terpaksa dilakukan dalam tempo 1 hari 1 malam harus ada utusan dari pihak
keluarga laki-laki yang datang pada orang tua si gadis untuk
melaporkannya. Selang beberapa waktu kemudian, apabila diperkirakan keluarga
pihak wanita sudah mulai reda marahnya di adakan upacara manuruk-nuruk
sebagai cara minta maaf. Kawin lari pada suku Batak boleh dipestakan
sesudah upacara permintaan maaf.
3. Adat
perkawinan di Aceh
Pada masyarakat Aceh dalam mencari jodoh
dipertimbangkan soal keserasian dan
keseimbangan kedudukan antara keluarga pihak pria dan wanita. Kalau
keluarga dan pemuda sudah menetapkan gadis pilihannya, maka diutus
seorang seulangke
(utusan)
untuk menemui keluarga pihak wanita. Apabila lamarannya diterima saulangke dibekali dengan kongnarit
(berbagai
perhiasan) tanda ikatan untuk diberikan kepada keluarga pihak wanita.
Seorang seulangke harus mempunyai
kepandaian
bicara, luas pengetahuannya, ramah, dan bijaksana karena merupakan
wakil dari
pihak laki-laki. Pada hari perkawinan saat ijab kabul,
pemuda harus menyerahkan mas kawin yang disebut jeunamee. Besar kecilnya
mas kawin
biasanya disesuaikan dengan tinggi rendahnya si wanita dalam masyarakat.
Setelah
perkawinan si pemuda akan tinggal dengan mertuanya. Selama ia
tinggal bersama
mertua, walaupun telah sah menjadi suami ia tidak mempunyai tanggung jawab
terhadap
keluarganya, yang bertanggung jawab ialah mertuanya sebagai kepala keluarga.
Seorang suami
baru memikul tanggung jawab terhadap rumah tangganya kalau sudah
diberi sawah atau rumah oleh mertuanya. Pemberian tersebut disebut peunulang.
4. Adat
perkawinan suku Dayak
Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan pemuda suku
bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk
dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting
dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana
dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan
dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda
datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran
yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin
berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak
biasanya tinggi
sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat
keluarga wanita.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya
ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara
perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk
hidangan
dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya
menghadiahkan
berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita.
Sebagai pernyataan
terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda
kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput
itu berupa
piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lainlain.
5. Adat
perkawinan di Jawa
Suku Jawa mempunyai banyak aturan adat dan tata cara
perkawinan. Adat perkawinan pada suku Jawa dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu adat pesisiran (adat loran) dan adat
pedalaman (adat
kidulan).
Adat perkawinan
Jawa pesisiran dipengaruhi budaya Arab dan Cina, sedangkan adat perkawinan
Jawa di daerah kidulan sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu, Buddha,
dan Kejawen. Selain itu, tata tertib, tata ras, pakaian, upacara
perkawinan di kalangan suku Jawa terutama dipengaruhi oleh adat Keraton Solo dan
Yogyakarta. Hal ini disebabkan pada masa penjajahan, kedua keraton
itulah yang menjadi pusat adat dan panutan budaya upacara.
Pada masyarakat Jawa pertimbangan dalam memilih
calon menantu berdasarkan bibit, bebet, dan bobot.
Pertimbangan bibit, bebet, dan bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si
calon menantu berasal dari keluarga baik-baik, berperangai baik,
dan berada pada kondisi sosial ekonomi keluarga yang setara. Kalau perhitungan
dari segi ini telah memenuhi keinginan, hal berikutnya yang dilakukan
adalah nontoni, artinya kesempatan melihat wajah si gadis. Apabila sudah
terdapat kecocokan, keluarga pemuda mengirim utusan untuk mengajukan lamaran
dan penyerahan paningset
(tanda ikatan)
berupa seperangkat pakaian terdiri atas kebaya/bahannya, kain batik,
selendang, selop, dan juga perhiasan. Upacara memberikan paningset
disebut srah-srahan.
Langkah berikutnya adalah menentukan hari baik dan
bulan baik dan umumnya diserahkan kepada keluarga
wanita karena sebagai penyelenggara upacara perkawinan. Selama menunggu
upacara perkawinan, si gadis harus membatasi pergaulan dengan pria lain karena
pada saat itu sudah dalam keadaan terikat. Tiga hari
menjelang upacara perkawinan, keluarga calon pengantin pria datang ke rumah
orang tua calon pengantin wanita untuk menyerahkan asak tukon (barang barang
keperluan peralatan perkawinan). Penyerahan asak tukon ini umumnya dilakukan
bersama dengan upacara pasang tarub (tanda penutup halaman) untuk para
undangan. Pemasangan tarub dimulai dengan memasang bleketepe, yakni semacam
tirai terbuat dari anyaman daun kelapa. Yang memasang bleketepe harus orang tua
dari keluarga pengantin
wanita. Upacara pemasangan tarub hampir selalu dilakukan bersama dengan sesaji
tulak udan (sesaji untuk menolak hujan). Sementara itu, si calon
pengantin wanita sejak lima hari atau sepasar sebelum hari pernikahan sudah
harus dipingit. Selama dipingit si gadis harus berpantang terhadap makanan
tertentu. Gadis itu harus minum ramuan jamu-jamu khusus demi
kebahagiaan pada malam pertamanya. Ia tidak boleh makan umbi mentah,
pisang ambon, mentimun, dan mengurangi makan pedas. Si gadis juga harus
selalu mandi dengan lulur serta mangir agar kulitnya halus dan wangi.
Selama lima hari dianjurkan agar tidak tidur sebelum pukul 12 malam dan
harus bangun pagi sebelum ayam jantan berkokok. Semua dilakukan dalam
rangka tirakat agar kelak hidupnya mendapat keberuntungan dan kemuliaan.
Sehari sebelum upacara perkawinan, pengantin wanita
dimandikan dengan air bunga (upacara siraman). Untuk
mengguyur air kembang ke kepala dan tubuh calon pengantin wanita,
dipilih tujuh orang tua dari pihak keluarga wanita. Selama menjalani
upacara adat siraman, calon pengantin itu memakai kain telesan yang dililitkan
sampai sebatas dada. Malam harinya diselenggarakan upacara selamatan yang
dihadapi oleh keluarga pihak wanita dan keluarga calon pengantin
pria, juga tetangga terdekat. Dalam upacara selamatan tersebut calon pengantin
wanita dirias oleh juru rias manten, yakni juru rias
merangkap pimpinan upacara temu esok harinya.
Selesai selamatan diadakan upacara midodareni,
di mana calon pengantin putri sudah kelihatan cantik
bagaikan bidadari, ia duduk sendirian di kursi pelaminan. Setelah upacara midodareni selesai pemuda
dan kerabat calon
pengantin wanita tetap tinggal untuk mengikuti acara lek-lekan yakni
tidak tidur
semalam suntuk dengan membuat hiasan-hiasan janur. Pada hari
perkawinan pagi-pagi sekali calon pengantin wanita sudah harus mandi
keramas dengan londo (air larutan merang dan jerami), sesudah itu rambut yang
masih basah diberi wewangian, lalu diasapi dengan asap ratus (dupa
wangi yang terdapat dari kemenyan dan serbuk kayu gaharu ditambah
beberapa ramuan lain). Selanjutnya calon pengantin wanita dirias dengan diawali
pemotongan rambut sinom
(rambut
tipis di dahi) beberapa saat sebelum ijab kabul dilaksanakan.
Pengantin pria datang diiringi oleh kerabatnya, tetapi orang tuanya sendiri
tidak boleh hadir. Orang tua pengantin pria baru boleh hadir kalau upacara ijab
kabul dan temu selesai. Ini sebagai perlambang bahwa seorang pemuda yang
berani menikah harus berani menikah sendiri tanpa ditunggui orang
tuanya. Orang tua baru hadir setelah kedua pengantin didudukkan di pelaminan.
Upacara temu dilaksanakan di pintu masuk ruangan
pelaminan. Sebelumnya kedua pengantin dibekali dengan sadak (gulungan
daun sirih yang diikat dengan benang
lawe). Sadak
ini
harus dilemparkan pada calon istri atau suami pada saat mereka ketemu dalam
upacara panggih. Orang Jawa percaya, siapa yang paling dahulu melempar sadak akan dominan
atau menang dalam
kehidupan rumah tangganya. Kalau yang menang pengantin putri, anak sulung
mereka mungkin sekali perempuan begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah
selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap
pasangannya.
Di pintu upacara panggih dipasang seuntai benang
warna-warni yang disebut lawe. Pengantin pria
harus memotong benang itu, lalu menginjakkan kaki kanannya ke
sebuah telur ayam kampung sampai pecah dan pengantin putri berjongkok
membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti
istri dalam melayani suami. Sesudah itu, pengantin wanita berdiri mendampingi
suaminya, tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin pria.
Saat itu pula ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin
dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu
keduanya. Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di depan ke dua
pengantin. Tangan kanan pengantin pria dan tangan kanan pengantin wanita memegang
ujung beskap sang bapak,
kemudian melangkah perlahan dengan membimbing kedua pengantin menuju kursi pelaminan.
Langkah-langkah mereka diiringi oleh gending Kodok Ngorek
atau Monggang.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, barulah
orang tua pengantin pria datang. Kedatangan orang
tua pengantin pria ini disebut dengan besan mertui. Kedatangan mereka
disambut kedua orang tua pengantin wanita dengan diiringi gending
Kebo Giro, yakni lagu penghormatan bagi tamu agung. Setelah mereka duduk,
dilakukan upacara sungkem
dimulai dari kedua orang tua pengantin kemudian kerabat lainnya. Di kiri dan
kanan kursi pelaminan diletakkan kembar mayang yang dibuat dari daun
kelapa muda serta beberapa jenis buah-buahan. Ini perlambang kedua
mempelai adalah jejaka dan gadis. Sebelum memasuki ke peraduan ayah
pengantin wanita memberikan keris pertanda pengakuan sebagai anggota
kerabat dari keluarga pihak wanita diberikan kepada pengantin pria. Keris
yang dinamakan kancing gelung itu merupakan tanda ikatan batin
antara mertua dan menantu, tetapi jika kelak terjadi perceraian si menantu
berkewajiban mengembalikan keris itu kepada mertuanya.
Hari kelima setelah upacara perkawinan dilakukan
upacara boyongan, pengantin pria membawa istrinya ke rumah
orang tuanya. Sebelum boyongan dilaksanakan, pihak keluarga
wanita membuat jenang sumsum yang harus dimakan semua orang yang
ikut aktif dalam
penyelenggaraan upacara itu. Menurut kepercayaan orang Jawa,
jenang sumsum
ini dapat menghilangkan rasa lelah dan letih akibat pekerjaan
yang mereka
lakukan. Sementara itu, di rumah orang tua pengantin pria diselenggarakan
persiapan
ngunduh mantu, suatu upacara yang mirip resepsi pengantin masa kini. Upacara
ngunduh mantu tidak selengkap upacara perkawinan, karena tujuan
utamanya
hanyalah memperkenalkan kedua pengantin kepada pada tetangga
di lingkungan
pengantin pria.
6. Adat
perkawinan di Minang
Suku Minangkabau mempunyai sistem kekerabatan yang menganut
garis ibu atau matrilineal. Adat perkawinan Minangkabau tidak mengenal mas
kawin, tetapi
berupa uang jemputan (mirip mas kawin) yang diserahkan oleh
keluarga pihak wanita kepada pihak pria. Besar kecilnya
uang jemputan
disesuaikan dengan kedudukan sosial ekonomi keluarga pihak
laki-laki. Apabila
martabat dan kedudukan keluarga pria lebih tinggi (berasal dari
keluarga bangsawan), maka setelah upacara dilangsungkan, pengantin pria
hanya mengunjungi istrinya pada malam hari saja. Bahkan ia tidak
berkewajiban memberi uang belanja kepada istrinya. Oleh karena itu, pada zaman
dahulu pria bangsawan beristri banyak untuk menaikkan derajat
sosialnya. Kalau terjadi perceraian, anak dan istri yang ditinggalkan
akan diurus oleh
saudara laki-laki dari ibu bekas istrinya.
Adat semacam itu kini
sudah banyak ditinggalkan terutama oleh golongan muda. Kebiasaan merantau pada
pemuda Minangkabau membuat mereka mengenal adat suku bangsa lain
sehingga adat Minangkabau yang mereka nilai tidak sesuai dengan zaman,
banyak yang tidak dipakai lagi.
7. Adat
perkawinan Irian
Suku Irian memiliki banyak macam adat
dan upacara perkawinan karena suku itu terbagi atas banyak anak suku.
Namun secara
umum perkawinan hampir serupa dan adat perkawinan orang Irian termasuk
sederhana dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal
paling penting
dalam adat perkawinan itu adalah perundingan dan pembayaran
mas kawin yang
disebut krae. Mas kawin
dapat berupa
babi, rangkaian perhiasan kerang atau manik-manik, hiasan kerang
besar yang
disebut sebkos, ikat pinggang
dari manik-manik yang disebut bitem. Dalam perkembangannya
mas kawin tersebut sering ditambah dengan sejumlah uang. Karena mas kawin
seperti itu oleh kebanyakan pemuda Irian Jaya, dianggap berat biasanya
mereka mengumpulkannya dibantu oleh sanak saudara yang lain. Bahkan
tidak jarang mas kawin itu baru dilunasi lama setelah pesta
perkawinan berlalu.
Sejak tahun 1930-an banyak suku Irian Jaya yang
mengharuskan diadakan upacara perkawinan gereja
setelah upacara adat selesai. Namun, kalau upacara perkawinan adat sudah
diselenggarakan dengan pesta makan ubi dan potong babi, perkawinan gereja
tidak dipestakan. Setelah upacara itu barulah pengantin laki-laki
memboyong istrinya ke rumah orang tua pihak laki-laki.
Sumber
:
1. Listiyani, Dwi Ari. 2009. Sejarah 1. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan nasional.
2. Max Regus & Kanisius Teobaldus Deki.
GEREJA MENYAPA MANGGARAI. Menghirup
Keutamaan Tradisi-Menumbuhkan Cinta- Menjaga Harapan, Jakarta: Parrhesia
Institute Jakarta & Yayasan Theresia Pora Plate. 2011.
3. Wikipedia
Comments
Post a Comment
Tujuan berkomentar untuk menambah wawasan kita semua.